Pemanfaatan dan pengembangan sumber daya lahan rawa baik rawa pasang surut, rawa lebak, maupun rawa gambut untuk tujuan pembangunan pertanian, tidak serta merta dapat dilakukan dengan mudah sebagaimana membalikkan tangan, akan tetapi mulai dari pembukaan lahan, pengelolaan lahan, dan teknik budidaya tanaman pertanian (pangan) dihadapkan pada banyak masalah dan kendala yang menjadi faktor pembatas produksi tanaman pangan. Secara garis besar, ada dua masalah utama yang sangat penting untuk menjadi perhatian oleh semua pihak dalam pengembangan lahan rawa pasang surut. Kedua masalah tersebut adalah (1) biofisik lahan dan lingkungan dan (2) sosial ekonomi (Norginayuwati dan Rina, 2003; Nursyamsi et al. 2014a; Nursyamsi et al. 2014b). Meskipun lahan rawa sudah dikembangkan sejak ratusan, bahkan ribuan tahun lalu oleh masyarakat lokal setempat, seperti Suku Banjar, Melayu, dan Bugis, tetapi seiring dengan berbagai perubahan dan tuntutan peningkatan produksi, maka diperlukan berbagai teknologi yang dikembangkan. pengelolaan lahan rawa untuk pertanian sampai saat ini sebagian besar masih dilakukan secara tradisional, didasari pengetahuan lokal (indegenius knowledge) dan teknologi sederhana berupa kearifan lokal (local wisdom), sehingga produktivitasnya rendah. Peran penelitian dan pengembangan untuk peningkatan dan optimalisasi lahan rawa sebagai sumber pertumbuhan produksi menjadi mutlak. Peningkatan produktivitas lahan rawa dapat dilakukan dengan cara menerapkan teknologi inovatif.
Inovasi teknologi lahan rawa ini akan mengemukakan masalah biofisik lahan yang perlu dipecahkan adalah masalah yang terkait dengan sifat fisik dan kimia tanah serta masalah biologi tanah. Sifat fisik dan kimia tanah pada umumnya belum memberikan dukungan yang optimal bagi usaha-usaha pertanian (tanaman pangan), sehingga produktivitasnya masih rendah. Ditemukan lapisan pirit/sulfida (FeS2) di dalam tanah menjadi sumber timbulnya keracunan besi pada tanaman padi, kemasaman tanah tinggi (pH tanah < 4,0), kahat unsur hara makro, sehingga kesuburan tanah dan produktivitas alami tanahnya sangat rendah. Kondisi lahan yang demikian, menyebabkan pengelolaan lahan rawa pasang surut ini memerlukan input (masukan) yang banyak, seperti bahan amelioran untuk ameliorasi tanah dan pupuk (organik dan anorganik) untuk meningkatkan produktivitas lahan dan tanaman. Sistem pengelolaan air yang ada di kawasan lahan rawa pasang surut, pada umumnya masih dilakukan dalam skala makro, sehingga fungsinya pada sistem usaha tani belum optimal. Pada skala usaha tani, diperlukan sistem pengelolaan air dalam skala mikro untuk meningkatkan produktivitas lahan. Kemasaman tanah yang sangat tinggi (pH tanah < 4,0) dan adanya bahaya keracunan besi pada tanaman, karena teroksidasinya pirit menjadi permasalahan yang cukup spesifik pada lahan sulfat masam dan menyebabkan rendahnya hasil padi. Melalui teknologi pengelolaan lahan dan air yang tepat serta pemberian bahan amelioran, lahan yang tadinya sangat masam berubah menjadi lahan yang lebih produktif.
Masalah biologi yang menjadi salah satu faktor pembatas pada proses produksi, adalah terdapatnya organisme pengganggu tanaman yang menjadi saingan tanaman budidaya. Salah satu di antaranya adalah tumbuhan pengganggu (gulma) dan hama penyakit tanaman. Gulma adalah tumbuhan yang tidak dikendaki dan tumbuh di antara tanaman pokok, sehingga menjadi saingan utama bagi semua tanaman budidaya terutama terhadap keperluan unsur-unsur hara. Akibat terjadinya persaingan antara tanaman budidaya dengan gulma menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan unsur-unsur hara, menurunnya produktivitas dan hasil tanaman, pemupukan menjadi tidak efisien serta menambah biaya produksi. Hama dan penyakit tanaman utama yang acapkali menyerang antara lain tikus, wereng, dan penggerek batang.
Daftar Pustaka
Noorginayuwati dan Y. Rina. 2003. Aspek sosial ekonomi petani di lahan sulfat masam. Dalam Ar-Riza et al., (EDs.). Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian di Lahan Pasang Surut. Kuala Kapuas. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Hlm. 120-136.
Nursyamsi, D.S., S. Raihan, M. Noor, K. Anwar, M. Alwi, E. Maftuah, I. Khairullah, I. Ar-Riza, R.S. Simatupang, Noorginayuwati, dan Y. Rina. 2014a. Buku Pedoman Pengelolaan Lahan Sulfat Masam untuk Pertanian Berkelanjutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. IAARD Press. Jakarta. 58 Hlm.
Nursyamsi, D.S., S. Raihan, M. Noor, K. Anwar, M. Alwi, E. Maftuah, I. Khairullah, I. Ar-Riza, R.S. Simatupang, Noorginayuwati, dan A. Fahmi. 2014b. Buku Pedoman Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. IAARD Press. Jakarta. 68 Hlm.
Cara Mengutip
1. Ubahlah ke kalimat sendiri yang dipahami dengan makna yang sama dengan kalimat asli (parafrase).
2. Tuliskan daftar pustaka atau sumber yang dikutip sesuai dengan format penulisan daftar pustaka yang ditentukan.
0 comments:
Post a Comment